Visualisasi Novel Anak Bajang dalam Tari Kontemporer
Dikisahkan, seorang dewi melahirkan anak bernama Sukrasana, hasil dari hubungan dengan Resi Suwandagni. Namun, kehadiran sang anak ditolak oleh Suwandagni yang berstatus sebagai begawan karena buruk rupa.
Anak Bajang itu pun akhirnya dibuang di tengah hutan belantara dan pada akhirnya, ia tewas di tangan Sumantri, kakak kandungnya.
Sepenggal kisah tersebut merupakan isi cerita dari Bedhayan Bocah Bajang, yang terinspirasi dari novel Bocah Bajang Mengayun Rembulan karya Sindhunata.
Bimo Wiwohatmo, selaku koreografer, berkolaborasi dengan Gandung Jatmiko mencoba menyajikannya dalam sebuah karya tari kontemporer.
“Ketika kita membaca sebuah novel atau sebuah sastra itu, imajinasinya orang satu dan orang lain akan berbeda. Ketika divisualkan, imajinasi yang sudah tertanam di dalam (kepala) masing-masing kemudian disatukan dalam (satu) visual. Itu yang sulit,” jelas Bimo.
Uniknya, meski koreografi yang ditampilkan tak ubahnya tarian tradisional, konsep pertunjukan ditata dengan gaya kekinian.
Didukung dengan tata artistik, pencahayaan, serta tata busana nan epik, pertunjukan ala bedhaya tersebut tersaji dengan indah meski berbalut kesederhanaan.
Warna gradasi dengan garis siluet yang feminin dan elegan pada setiap kostum yang dikenakan diharapkan mampu mengakomodasi koreografi.
“Saya tetap membuat kontemporer dengan kain-kain yang diberi warna gradasi. Itu menimbulkan kesederhanaan, tapi juga sangat simpel tetapi elegan. Itu sesuai dengan koreografi,” ungkap Nita Azhar, selaku perancang busana.
Bertempat di Gedung Pertunjukan Laboratorium ISI Yogyakarta dan berdurasi 1 jam, pertunjukan pentas tari Bedhayan Bocah Bajang bakal membawa penonton dalam sebuah imajinasi yang menyatu.
Kisah kakak beradik Sukrasana dan Sumantri direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari yang berpijak dari akar tradisi dengan pengembangan elemen artistik. Prinsipnya adalah kebebasan berekspresi menyesuaikan tuntutan zaman. (JP/L44)
