Lensa Jogja

Pusat Studi Gender, Anak dan Disabilitas UMY Sebut Perppu Cipta Kerja Lemah Bagi Perempuan

Masih jelas dalam ingatan pada tahun 2020, ketika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan dan menimbulkan banyak polemik.

Berkaitan dengan itu, 30 Desember 2022 lalu, Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja), yang kemudian berbuntut munculnya kontroversi di masyarakat.

Menurut sebagian pihak, banyak pasal dari peraturan ini yang tidak berpihak kepada pekerja, seperti tidak diaturnya waktu istirahat atau cuti haid dan melahirkan bagi pekerja wanita. Penghapusan hak-hak ini dinilai mengancam kesejahteraan pekerja wanita.

Dr. Ane Permatasari, S.IP., MA selaku perwakilan dari Pusat Studi Gender, Anak dan Disabilitas UMY menjelaskan bahwa Perppu Cipta Kerja memiliki kekuatan hukum yang lemah bagi pekerja wanita.

“Perppu Cipta Kerja tidak memasukkan pasal di mana hak-hak pekerja wanita meliputi cuti haid dan melahirkan. Dengan gantinya, hak-hak ini diatur dengan penjelasan bahwa jaminan hak-hak tersebut dapat dimuat dalam perjanjian kerja. Hal ini dinilai lemah dan merugikan pekerja wanita,” ungkap Ane saat ditemui pada Jum’at (6/1).

Hak pekerja wanita untuk mengajukan cuti apabila merasa sakit ketika haid atau mengambil cuti ketika akan melahirkan, sejak awal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini membuat pekerja wanita dilindungi haknya.

Adapun isi dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 81 ayat (1), tertulis bahwa Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pada Pasal 82 ayat (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Berdasarkan fakta di lapangan, lanjut Ane, banyak perusahaan yang melanggar hak pekerja wanita. Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan pada tiga tahun terakhir, mereka mencatat sejumlah kasus diskriminasi, kekerasan dan pelanggaran hak maternitas yang dialami pekerja perempuan.

Hal ini dapat terjadi dikarenakan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak lagi berlaku, setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan. Ditambah lagi, penguatan pada Perppu Cipta Kerja yang meniadakan hak-hak pekerja wanita ini.

Lebih lanjut, dalam Perppu Cipta Kerja pada Pasal 79 ayat (5) juga menjelaskan bahwa pelaksanaan jam kerja bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Menurut Ane, hal ini membuat jarak antara pengusaha dan pekerja.

“Penyerahan keputusan hak pekerja wanita kepada pengusaha atau perusahaan membuat jarak. Di mana, terdapat kemungkinan pengusaha tidak akan memasukkan hak-hak tersebut. Dan hal ini ke depannya tidak dapat dipermasalahkan secara hukum,” terangnya.

Selain itu, ada banyak  pasal yang dapat dikritisi dari Perppu Cipta Kerja ini, yaitu tidak diaturnya ketentuan pengangkatan pegawai tetap dalam jangka waktu tertentu, pengurangan hari libur, pemberian pesangon kepada pekerja yang di PHK dan lainnya.

“Yang menjadi perhatian sejak lama memang kepentingan dari pekerja yang dapat dijamin dengan adanya peraturan yang mengikat. Bukan hanya mementingkan kepentingan investor yang akan menanam benih di Indonesia,” ungkap Ane.

Begitu pula dengan peraturan mengenai hak-hak pekerja wanita yang juga harus diatur secara eksplisit dalam peraturan.

Ane menyebut, hak seperti cuti haid dan melahirkan bagi pekerja wanita harus diatur secara eksplisit. Harapan ini dapat kita serahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kita berharap MK dapat menimbang kembali kepentingan masyarakat khususnya para pekerja Indonesia,” tutupnya. (Z/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *