Lensa Terkini

AJI Ingatkan Media Patuhi UU Pers dalam Peliputan Kasus Kekerasan Seksual

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengingatkan secara resmi kepada seluruh media di Indonesia, agar tak mengabaikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik  Jurnalistik (KEJ) saat memberitakan kasus terkait kekerasan seksual.

Peringatan ini diterbitkan, lantaran melihat banyaknya media yang mengabaikan kerahasiaan identitas korban, seperti menampilkan foto dan profil penyintas kekerasan seksual, hingga menulis detail kronologi tanpa persetujuan pihak terkait.

Disebutkan, bahwa hal ini merujuk pada cerita seorang jurnalis Geotimes, yang mengaku mengalami kekerasan seksual pada 2015 silam. Hal itu diungkapkannya beberapa waktu yang lalu.

“Meskipun berita tersebut akhirnya diturunkan dari media yang bersangkutan, namun jejak digital masih tetap tertinggal. Hal ini menambah beban trauma penyintas, termasuk para penyintas lain yang mengalami kasus serupa,” demikian dikutip dari keterangan tertulis AJI, Jumat (4/2).

Tak hanya itu, AJI juga menyoroti ihwal penggunaan diksi dalam pemberitaan kekerasan seksual, seperti ‘menggagahi, meniduri, menggilir, atau menodai’. Menurut AJI, penggunaan diksi semacam itu, hanya akan mengaburkan tindak kekerasan seksual yang terjadi, sehingga menimbulkan stigma bahwa perempuan hanya sebagai objek seksual.

Lebih lanjut, ditegaskan pula bahwa para pemangku media tidak seharusnya mendulang klik dari judul berita yang dibuat. Seharusnya, media bisa menjadi peran penting untuk memperjuangan keadilan bagi korban dan penyintas.

Dalam hal ini, AJI merujuk pada 4 pasal dalam KEJ yang di antaranya, Pasal 2, “Wartawan Indonesia mnempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”, Pasal 4, “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”.

Kemudian Pasal 5, “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”, dan “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak mrendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani”.

Selain menegur kepada para pemangku media, AJI juga menyebut Dewan Pers yang seharusnya bisa mengawasi kinerja para media, untuk tetap mematuhi UU Pers dan KEJ.

“Dewan Pers harus aktif untuk memantau & menegur media yang melanggar kode etik jurnalistik saat memberitakan kasus kekerasan seksual. Di samping itu, @dewanpers perlu segera membuat Pedoman Peliputan Isu Kekerasan Seksual sehingga bisa menjadi panduan bagi jurnalis dalam melakukan peliputan kasus-kasus sensitif seperti ini,” tutupnya. (AKM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *