Headline

Relokasi PKL Malioboro, LBH Yogyakarta: Menghilangkan Identitas Malioboro

Dipindahnya seluruh Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro Yogyakarta, menjadi sorotan berbagai pihak. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, melihat kebijakan ini sebagai rencana penggusuran yang berdalih relokasi.

Sebagaimana Malioboro telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, LBH menilai pemerintah dalam hal ini Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak seharusnya melakukan kebijakan ini.

Selama ini, Malioboro sudah sangat dikenal dengan khasnya yakni deretan para pedagang lokal yang ada di sepanjang jalannya. Menurutnya, hal tersebut memuat filosofi keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan pencipta, keseimbangan manusia dengan manusia dan keseimbangan manusia dengan alam.

“Berdasarkan Konvensi UNESCO Tahun 2003 tentang Perlindungan Hukum Warisan Budaya Tak Benda menyatakan bahwa warisan budaya tak benda meliputi berbagai praktek, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan serta instrumen-instrumen, obyek, artefak dan lingkungan budaya yang terkait meliputi komunitas, kelompok dan dalam beberapa hal tertentu, perseorangan yang diakui sebagai warisan budaya mereka,” demikian dilansir dari keterangan resmi LBH Yogyakarta, Jumat (11/2).

Menurut LBH, keberadaan PKL di sepanjang jalanan Maliborolah yang menguatkan eksistensi budaya dan praktik nyata dari tradisi penggunaan bahasa lokal, sebagaimana syarat dari sumbu filosofi warisan tak benda UNESCO. Maka untuk itu, Pemda DIY dianggap tidak punya alasan untuk merelokasi para PKL.

Selain itu, Pemda DIY juga disebut tidak melibatkan suara para PKL dalam rencana relokasi ini. Padahal, kedaulatan negara berada di tangan rakyat, seperti dikatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

“Kedaulatan rakyat haruslah berlandaskan pada semangat kekeluargaan dan musyawarah. Para pendiri bangsa tidak menghendaki sistem yang bercorak individualis dan hanya mempertimbangkan kelas sosial. Secara teknis, kedaulatan rakyat dalam pengambilan kebijakan dapat dilakukan melalui dengar pendapat masyarakat yang mana mencerminkan kehendak umum dan merupakan kedaulatan tertinggi,” terangnya.

Lebih lanjut, pasca gempuran pandemi yang tentu sangat berdampak pada para PKL, relokasi ini dianggap tak tepat sebab para PKL saat ini sedang berusaha kembali bangkit memetik nafkah dari wisatawan, sebagaimana sebelum pandemi.

“Selain dampak pandemi para pedagang juga harus menghadapi berbagai permasalahan baru yang mungkin belum pernah ditemui sebelumnya dan berpotensi membuat pemiskinan struktural bagi para pedagang kaki lima Malioboro,” tambahnya.

Relokasi ini, juga dianggap akan menghilangkan identitas sosial-budaya dari Malioboro sendiri. Malioboro seharusnya tetap menjadi Malioboro yang dipenuhi dengan riuh para pedagang yang menjajakan kerajinan dan makanan khas Yogyakarta.

“Besarnya nama Malioboro hari ini tentu tidak dapat serta merta menghilangkan kontribusi para becak, andong maupun para pedagang Malioboronya. Maka kebijakan relokasi terhadap para pedagang kaki lima Malioboro harus dipertimbangan ulang,” tegasnya.

Selain itu, relokasi ini juga ditautkan pada potensi pengabaian Hak Asasi Manusia. Disebutkan pula beberapa pasal terkait, seperti Pelanggaran terhadap hak turut serta dalam kebudayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 angka (1) huruf (a) Kovenan Ekonomi Sosial Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dan Pelanggaran terhadap hak atas penghidupan yang layak sebagaimana diatur dalam Pasal (9) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (AKM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *