HeadlineLensa Terkini

Poin-poin Kesaksian Franz Magnis Suseno di Sidang Bharada E

Sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir J terus bergulir. Bahkan sejumlah saksi ahli dihadirkan oleh kubu Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada hari Senin (26/12).

Mereka menghadirkan guru besar filsafat moral Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis Suseno atau yang akrab dipanggil Romo Magnis.

Menurut Romo Magnis, ada dua poin utama yang bisa meringankan kesalahan Bharada E dalam kasus penembakan Brigadir J.

Adapun faktor yang paling meringankan, menurutnya, adalah kedudukan tinggi seseorang yang memberi perintah untuk menembak Brigadir J.

“Paling meringankan adalah kedudukan yang memberi perintah itu. Kedudukan yang lebih tinggi yang jelas berhak memberi perintah. Setahu saya di dalam kepolisian tentu akan ditaati,” kata Romo Magnis, dikuti Selasa (27/12).

Apalagi dalam dunia kepolisian, terdapat budaya menaati atasan. Di mana peristiwa penembakan Brigadir J tersebut, Ferdy Sambo merupakan atasan Richard Eliezer dengan pangkat dan kedudukan yang jauh lebih tinggi.

“Budaya laksanakan itu adalah unsur yang paling kuat,” ungkap Romo Magnis.

Romo Magnis juga menyebut, faktor kedua yang meringankan hukuman Bharada E adalah keterbatasan situasi saat peristiwa penembakan 8 Juli lalu. Menurutnya, saat itu Bharada E tak memiliki waktu untuk mempertimbangkan perintah menembak Brigadir J.

“Saya kira semua itu di mana dia saat itu harus menentukan laksanakan atau tidak, tidak ada waktu untuk melakukan pertimbangan matang di mana kita umumnya kalau ada keputusan penting coba ambil waktu tidur dulu, dia harus langsung bereaksi,” ujarnya.

Selain itu, Romo Magnis mengungkapkan Bharada E juga mengalami dilema moral saat diperintah oleh mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J.

Terlebih lagi, kata Romo Magnis, kalau melihat usia dari Bharada E yang masih 24 tahun dan merupakan anggota Polri yang paling muda dan minim pengalaman.

“Dia bingung karena dia berhadapan dengan dua moral. Yang satu itu mengatakan menembak mati orang yang sudah tidak berdaya tidak bisa dibenarkan, titik. Yang kedua dia diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah, wajib ditaati supaya melakukannya. Lalu dia harus mengikuti yang mana,” kata Romo Magnis.

Secara tegas, dia mengatakan kalau perintah yang sama memang tidak berlaku untuk masyarakat sipil.

“Tapi di polisi itu lain karena atasan dia dalam situasi tertentu bisa memberikan (arahan tembak), berarti juga resistensi di dalam yang menerima perintah itu lebih lemah,” terang Romo Magnis. (SC/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *