Lensa Terkini

Pamer Anak, Tradisi Lebaran yang Seharusnya Dihentikan Saja

Lebaran tak selalu menyenangkan. Bagi sebagian orang, lebaran jadi momen paling menegangkan selama hidup, yang terulang setiap satu tahun sekali. Momen menegangkan inilah yang seringkali membuat lebaran menjadi tak asyik.

Salah satu momen itu adalah kegiatan pamer anak antar para ibu. Lebaran yang semestinya menjadi ajang mempererat tali persaudaraan, justru dijadikan ajang pamer. Masalahnya, yang dipamerkan tak hanya harta benda duniawi, tapi juga kesuksesan dan prestasi keluarga, pencapaian anak, hingga tumbuh kembang anak yang tampak secara fisik.

Mendekati lebaran, para ibu mulai cemas kalau anaknya terlihat kurus, nilainya jelek, atau belum jago ngaji. Ibu-ibu mulai sibuk memikirkan jurus jitu untuk menutupi kekurangan anak-anaknya. Mulai dari membelikan baju baru, sampai memaksa anaknya makan lebih banyak saat buka dan sahur supaya terlihat lebih berisi.

Beberapa ibu yang punya anak seumuran, biasanya akan memulai basa-basi dengan pertanyaan, “Anaknya sudah bisa ngapain, Bu? Kalau anak saya udah bisa jungkir balik, kayang, terbang, mecahin genteng pakai kepala”.

Ketika anak yang ibunya ditanya ternyata belum sejago anaknya, pun akan muncul nasihat bijak lanjutan seperti, “Makanya Bu, dilesin aja di Bimbel Doa Ibu atau Padepokan Halilintar. Di sana biayanya cuma sekian puluh juta kok. Nanti jadi pinter kayak anak saya”.

Tak hanya itu, beberapa ibu juga pamer soal fisik anaknya. “Waah…kok anaknya kurus banget, Bu?? Coba dikasih vitamin Sea kaya anak saya, cuma sekian juta kok harganya. Nih lihat anak saya gemuk ginuk ginuk, pahanya saja kaya roti sobek”.

Momen pamer anak ini, sebenarnya bisa diabaikan begitu saja. Kita bisa pura-pura tak mendengar atau mencoba mengalihkan topik. Sayangnya, momen pamer anak ini, pun seringkali dibumbui dengan beraneka drama yang membuat telinga panas. Tentu saja, drama ini membuat hasrat untuk menyambar perbincangan tak tertahankan lagi.

Drama yang membuat momen pamer anak ini semakin panas, adalah tentu saja nyinyiran dan nasihat-nasihat bijak yang mendadak keluar seakan-akan paling suci dan tak bernoda. Alih-alih memberikan solusi, nasihat bijak ini berujung pada usaha mengunggulkan pencapaian keluarga.

Sebenarnya, budaya pamer ini sudah menjadi hal lumrah. Lihat saja media sosial kita. Sayangnya, kalau di media sosial kita masih bisa pilih mode mute, unfollow atau block. Tapi, bagaimana kalau di dunia nyata?

Anak memang tak semestinya dipamerkan ketika lebaran. Setiap orang memiliki pencapaiannya masing-masing. Daripada berkompetisi untuk memamerkan pencapaian anak, lebih baik saling menguatkan dan memberikan semangat. Mari, kita sudahi budaya pamer anak di lebaran kali ini! (Netizen: Maharso)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *