Lensa Manca

Kudeta Myanmar: Tantangan Para Perempuan Sejak Militer Duduki Kursi Pemerintahan

Militer Myanmar berhasil mengkudeta kursi pemerintahan pada Februari 2021, dengan lebih dari jutaan orang mengalami penderitaan, terutama perempuan.

Melansir dari aljazeera, Sabtu (28/5), sejak perang saudara yang terjadi setelah kudeta militer, perempuan Myanmar kesulitan untuk mendapatkan pasokan menstrual care, air bersih, dan privasi.

Sejak meninggalkan desanya, para perempuan Myanmar diharuskan untuk tidur di bawah terpal di hutan atau berlindung di sekolah dan biara terdekat.

Salah satu perempuan Myanmar mengungkapkan, dirinya harus menggunakan satu pembalut sepanjang hari dan malam hingga harus gunakan kain, karena pasokan menstrual care yang sangat tipis.

Tantangan mereka tidak berhenti sampai disitu, mereka juga kesulitan untuk mendapatkan air bersih, untuk mandi atau mencuci pakaian, yang mana membuat perempuan Myanmar merasa tidak nyaman secara fisik, malu, dan memilki resiko tinggi terpapar infeksi.

“Saya tidak merasa percaya diri untuk berjalan-jalan atau mendekati orang lain ketika saya sedang menstruasi,” ucap seorang perempuan Myanmar yang namanya disamarkan.

Padahal dalam satu waktu, terdapat 800 juta perempuan yang mengalami menstruasi di dunia. Periode menstruasi ini menyebabkan ketidaknyamanan dan stres bagi banyak perempuan.

Akan tetapi, bagi para perempuan yang hidup dalam kemiskinan dan atau situasi yang menegangkan, seperti yang dialami wanita Myanmar, menstruasi dapat menjadi mimpi buruk.

Tidak hanya pada segi ketidaknyamanan dan stres, tapi juga penurunan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan mereka.

Maggie Schmitt, peneliti kesehatan masyarakat di program Gender, Adolescent Transitions and Environment (GATE) di Universitas Columbia, mengatakan kesulitan lain yang kerap dihadapi oleh perempuan terlantar adalah kekurangan mendapatkan akses untuk mendapatkan produk mesntrual care, toilet bersih, dan fasilitas untuk mengganti serta mencuci baju.

Pertempuran yang semakin meluas dan serangan militer ke pemukiman serta kamp pengungsian di Myanmar, sangat mempengaruhi kemampuan perempuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Para perempuan Myanmar dipaksa untuk terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang mana menghalangi akses mereka untuk mendapatkan menstrual care, air bersih, dan privasi.

Selain itu, harga menstrual care yang melambung serta penurunan nilai mata uang Myanmar pun menjadi tantangan lainnya.

Diketahui, pertempuran di Myanmar telah menutup pasar lokal dan mempersulit pengiriman barang ke toko-toko.

Selain itu, militer Myanmar juga mengadakan strategi jangka panjang yang dikenal sebagai ‘Four Cuts’, yang mana mereka memblokir transit pasokan penting, agar kelompok lawan mengalami kelaparan.

(YC/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *