Lensa Terkini

Ironi Transpuan di Tengah Pandemi, Penonton di Negeri Sendiri

Pandemi Covid-19 jelas diketahui berdampak besar di setiap lini kehidupan manusia, baik secara umum maupun secara khusus. Tak terkecuali para Transpuan yang terlebih juga seringkali dianggap sebagai kaum termarginalkan.

Mereka yang sudah cukup kenyang dengan segala risiko kehidupannya sendiri, harus kembali berjuang lebih keras untuk bertahan hidup di tengah engapnya pandemi selama hampir dua tahun ini.

Persoalan identitas menjadi satu tantangan besar bagi mereka untuk mendapatkan bantuan sosial dan vaksin, yang seharusnya bisa diterima dengan tanpa syarat sebagai warga negara Indonesia. Keresahan ini diakui oleh Mami Rully, seorang Transpuan sekaligus pengurus Yayasan Kebaya di Yogyakarta.

Melihat kondisi para Transpuan yang semakin memburuk terdampak pandemi, Mami Rully dan rekannya lantas mendirikan dapur umum untuk menyediakan kebutuhan mereka. Sejak tahun lalu hingga saat ini, sudah ada setidaknya delapan dapur umum untuk menghidupi sebanyak 280 Transpuan.

Mami Rully melihat ini sebagai ironi yang sangat menyedihkan. Pasalnya, mereka dipaksa oleh keadaan untuk menjadi penonton di negaranya sendiri. Mereka kesulitan mendapatkan haknya saat banyak orang menggaungkan kemerdekaan, atau saat pemerintah menjanjikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

“Jadi ada di bulan Agustus, karena kebetulan itu momen hari kemerdekaan ada kegelisahan di hati saya, mengapa kita sudah 76 tahun merdeka, kita sama sekali aksesnya belum tuntas juga. Masih sulit mengakses berbagai fasilitas karena kendala identitas. Kita ini jadi penonton di negeri sendiri,” kata Mami Rully, dalam diskusi virtual, Minggu (21/11).

Senada dengan Mami Rully, Gama Triono, Direktur Eksekutif Daerah PKBI DIY mengatakan bahwa ketidakberpihakan negara kepada Transpuan telah menjadi catatan merah yang perlu dievaluasi.

“Catatan merah untuk negara yang belum bisa memberikan hak kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang latar belakang. Mereka meminta tolong menolong, tapi tidak diberikan pendampingan,” tutur Gama.

Gama menjelaskan bahwa pemerintah seharusnya bisa memberikan hak rakyat dengan cuma-cuma, tanpa syarat tempat tinggal, gender, atau sejenisnya.

“Pemerintah hanya memberikan bantuan berbasis dari institusi pemerintah secara umum, tapi yang seharusnya tepat adalah proses pelayanan KTP. Ini satu bentuk Primordialisme yang sangat kental. Yang tidak punya KTP seolah bukan sebagai warga negara Indonesia,” imbuhnya. (AKM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *