Lensa JogjaLensa Lifestyle

Budaya Orang Jawa: Wong Jawa Nggone Semu

Orang Jawa terkenal memiliki falsafah dan budaya perilaku yang tinggi. Selain yang sering disebut Gusti Ora Sare, Alon-Alon Waton Klakon. Ada satu falsafah yang jarang disebut tetapi sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari orang Jawa, yakni Wong Jawa Nggone Semu.

Ungkapan itu bisa diartikan secara sederhana, orang Jawa itu berpikirnya tidak selalu terbuka. Orang Jawa tidak menyatakan secara langsung apa yang diinginkannya, pendapatnya, tujuan dan tindakannya. Ini karena dalam budaya Jawa, masyarakat cenderung berorientasi pada upaya menciptakan hubungan yang rukun dan harmonis. Dalam pergaulan dengan orang Jawa dituntut pemahaman yang sangat mendalam pada tabiat dan budaya Jawa, khususnya yang terkait dengan etika pergaulan.

Orang Jawa dituntut memiliki perasaan halus. Baik itu dalam bicara maupun tingkah laku. Itu semua dibutuhkan kedewasaan dan kematangan. Seseorang perlu memiliki kepekaan, kejelian dan kecerdasan berpikir dalam menangkap maksud orang lain.

Contoh sederhananya, ketika bertamu ke rumah seseorang dan tuan rumah bolak-balik melirik ke jam dinding. Itu bisa diartikan tuan rumah mengharapkan kita untuk pamit. Kita harus memahaminya. Itu merupakan kategori sikap yang semu atau simbolik.

Di era sekarang, makin jarang orang Jawa yang mampu berpikir semu. Semua serba terbuka dan transparan. Padahal sebenarnya, budaya semu atau simbolik yang menjadi karakteristik orang Jawa ini memiliki peran yang relevan untuk menciptakan pergaulan yang harmonis.

Budaya semu orang Jawa ini dimaksudkan agar ucapan, pikiran, sikap dan perbuatan kita tidak menimbulkan konflik dengan orang lain. Apa yang kita inginkan bisa tercapai tanpa orang lain merasa tersinggung atau dilecehkan.

Penulis: Ara

Editor/redaktur: Rizky/Wara

Sumber: Gusti Ora Sare, Pardi Suratno & Heniy Astiyanti.

Baca : https://lensa44.com/pertahankan-budaya-jawa-dinsos-gelar-restorasi-sosial/

Share