Lensa Jogja

Yogyakarta Jadi Provinsi Termiskin di Jawa Tapi Paling Bahagia

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) didaulat sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi se-Pulau Jawa. Bukan bualan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Yogyakarta mencapai angka kemiskinan sebesar 11,49%, sementara rerata nasional adalah 9,57%.

Kepala Bappeda DIY, Benny Suharsono, menjelaskan bahwa penduduk miskin di DIY tercatat sebanyak 463.630 pada September 2022. Angka tersebut, dikatakan naik sebanyak 8.900 dibandingkan pada bulan Maret sebelumnya.

Kendati begitu, Benny menyebut, tingginya angka kemiskinan tahun 2022 ini diklaim turun sebanyak 10.900 dari tahun sebelumnya, tepatnya September 2021.

“Kondisi ini juga sejalan dengan kondisi pemulihan ekonomi yang terjadi di DIY. Perekonomian DIY pada triwulan III-2022 terhadap triwulan III-2021 tumbuh sebesar 5,82 persen. Seiring dengan perkembangan aktivitas pariwisata, ekonomi DIY tumbuh relatif lebih cepat dibandingkan dengan provinsi lain se-Pulau Jawa. Menurut data dari BPS, pada triwulan III-2022 ini, pertumbuhan ekonomi DIY berada pada peringkat ke-3 setelah Jawa Barat dan DKI Jakarta,” terangnya.

Meski Miskin, Tapi Bahagia

Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dan gudangnya wisata, menjadi semakin naik daun karena terkuaknya presentase kemiskinan tertinggi se-Jawa ini.

Uniknya, meski didaulat sebagai provinsi termiskin se-Pulau Jawa namun, dalam segi kebahagiaan, provinsi pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X berada di posisi teratas. Kota Gudeg ini menjadi provinsi paling bahagia di antara provinsi lain.

Dilansir dari situs resmi Pemda DIY, Selasa (24/1), Yogyakarta diunggulkan dalam hal Angka Harapan Hidup (AHH), Indeks Kebahagiaan (IP), Harapan Lama Sekolah (HLS), dan Indeks Kesejahteraan Sosial (IKS), serta angka pengangguran yang diklaim berada jauh di bawah rata-rata nasional.

Menurut Murti Lestari, salah satu akademisi di Univesitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, warga Yogyakarta hidup dengan kebahagiaan yang tak memandang jumlah materi yang dipunyainya.

Warga Yogyakarta, katanya, mampu hidup dengan bahagia hanya dengan kerukunan antar sesama yang masih terjalin erat.

“Antara kemiskinan, kebahagiaan, harapan hidup, itu memang beberapa terminologi yang berbeda. Antara pengeluaran dan kebahagiaan itu beda terminologi, orang bisa saja pengeluaran kecil tapi bahagia ketika kerukunan dengan tetangga baik, persaudaraan baik, ora do rebutan rejeki, dan lain-lain, itu orang bahagia kemudian panjang umur, itu bisa,” katanya.

Murti bahkan menyebut, meski menjadi provinsi termiskin, tetapi kehidupan di Yogyakarta mampu menanamkan keharmonisan yang kondusif. Sehingga menurutnya, Yogyakarta tak perlu terlalu ambil pusing soal hasil statistik itu.

Kendati begitu, Yogyakarta tidak serta merta abai untuk terus berupaya mensejahterakan warganya.

Upaya Pengentasan Kemiskinan Dinilai Mulai Tampak Hasilnya

Perwakilan Bank Indonesia DIY, Budiharto Setyawan, menilai bahwa upaya Pemda DIY dalam menekan angka kemiskinan kian membuahkan hasil, bahkan meski Yogyakarta tetap menjadi provinsi termiskin se-Pulau Jawa.

Menurutnya, DIY sudah berhasil melewati masa-masa pandemi dengan baik. Hal itu terlihat dalam indeks indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Akumulasi PDRB DIY Triwulan I hingga Triwulan III 2022 berada pada level Rp83,58 triliun atau meningkat 4,68%.

Pencapaian tersebut, kata Budi, naik cukup banyak dibandingkan tahun 2019 dengan presentase Rp74,79 triliun.

“Berdasarkan rilis BPS 13 Januari 2023, perbandingan September 2021 dengan September 2022 presentase penduduk miskin sebenarnya turun. Dari 11,91 persen menjadi 11,49 persen,” kata Budi.

Sementara itu, tingkat pengangguran di DIY mencapai angka 4,06%, di bawah rerata nasional yakni 5.86%. Budi menyebut, mayoritas penduduk Yogyakarta bermatapencaharian sebagai pengusaha UMKM, dengan tercatat presentase sebesar 53.38%.

Dengan data tersebut, Budi mengungkapkan setidaknya 2 faktor yang menyebabkan Yogyakarta disebut sebagai provinsi termiskin se-Pulau Jawa.

“Dari ini kami simpulkan ada 2 hal penyebab angka kemiskinan. Pertama pola konsumsi masyarakat cenderung sederhana, lalu metode pengukuran statistik belum sepenuhnya bisa menggambarkan purchasing power parity masyarakat DIY yang sebenarnya,”  terangnya.

Warga Jogja Gemar Menabung

Alasan mengapa pola konsumsi warga Yogyakarta cenderung sederhana, diungkap oleh Budi, lantaran warga lebih memilih menabung uang mereka ketimbang membelanjakan.

Pendapat ini merujuk pada tingkat simpanan masyarakat di bank yang selalu lebih tinggi dibandingkan kredit. Dalam 10 tahun terakhir, katanya, simpanan rumah tangga di Yogyakarta mencapai angka 66.78%.

“Kondisi demikian terus menjadi problem secara statistik, karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, semakin rendah pengeluaran penduduk maka akan semakin dekat dengan kemiskinan,” ungkapnya.

Targetkan Kemiskinan Ekstrem Jogja Rampung 2024

Pemda DIY pun tanggap menjawab mencuatnya angka statistik tersebut. Beny Suharsono, Kepala Bappeda DIY, optimis pihaknya bakal menyelesaikan PR kemiskinan ekstrem ini pada 2024 mendatang.

Mendukung target itu, katanya, Pemda DIY telah menetapkan setidaknya 15 kapanewon sebagai fokus penanganan kemiskinan di DIY.

Selain itu, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X juga tengah berfokus membangun pemerataan daerah selatan Yogyakarta, di mana pusat pariwisata alam  berada di sana yakni 12 mil garis pantai DIY di Kulon Progo, Bantul dan Gunungkidul. (AKM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *