Lensa Terkini

Wacana Dwifungsi ABRI, Pakar Waspadai Dampak Buruk Bagi Demokrasi

Waktu yang berjalan mendekati tahun-tahun pesta politik, membuat wacana kembalinya Dwifungsi ABRI kembali menggema belakangan ini. Hal tersebut tentu menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak terkait.

Dalam keterangannya, beberapa pakar menilai bahwa Dwifungsi ABRI yang telah dicabut pasca reformasi 1998 silam itu, tidak perlu dihidupkan kembali. Khoirunnisa, Direktur Eksekutif Perludem mengatakan bahwa dengan kembalinya Dwifungsi ABRI, maka akan membuat kondisi demokrasi Indonesia semakin tidak karuan.

“Jika sebanyak 272 daerah diisi penjabat kepala daerah yang mayoritas perwira polisi dan TNI maka akan membawa dampak buruk bagi demokrasi. Mereka rentan membawa kepentingan politik tertentu.” Kata Khoirunnisa, dikutip dari situs hakasasi.id, Selasa (12/10).

Mendukung argumen Khoirunnisa, Made Supriatna, Peneliti Yusof Ishak Institute juga menyebut bahwa ada beberapa daerah di Indonesia yang diketahui dipimpin oleh tokoh yang berlatarbelakang militer, namun ternyata tidak menjadikan daerah tersebut menjadi lebih baik seperti yang diharapkan.

“Kalau ada argumen bahwa ‘tentara akan mengatur kita lebih baik, mereka secara organisasional lebih kapabel,’ saya hampir lebih 20 tahun reformasi tidak melihat itu terjadi. Daerah-daerah yang berhasil menang dalam pemilihan bukan daerah yang terbaik perkembangannya,” imbuhnya.

Sementara itu, Iwan Nurdin, Direktur Lokataru Foundation berpendapat bahwa pun jika Dwifungsi ABRI berhasil dihidupkan kembali, maka jelas akan ada keterkaitan kepentingan dengan pemilihan presiden 2024 mendatang. Hal ini dikarenakan, pejabat daerah yang berasal dari militer, dinilai punya pengaruh besar dalam pengambilan suara pemilih. (AKM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *