Tragedi Kanjuruhan Lebih Mengerikan, TGIPF Desak Ketum PSSI Mundur
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan telah menyerahkan hasil laporannya kepada Presiden Jokowi pada Jumat (14/10).
Ketua TGIPF, Mahfud MD, mengatakan bahwa laporan tersebut setebal 124 halaman. Di dalamnya menyebutkan beberapa rekomendasi untuk Presiden Jokowi berkaitan dengan hasil penyelidikan timnya.
Salah satu dari rekomendasi itu, lanjutnya, adalah meminta Ketua Umum PSSI dan Exco PSSI untuk mundur dari jabatannya. Pasalnya, mereka dianggap bertanggung jawab atas tragedi yang menelan ratusan nyawa itu.
“Secara normatif, pemerintah tidak bisa mengintervensi PSSI, namun dalam negara yang memiliki dasar moral dan etika serta budaya adiluhung, sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri,” kata Mahfud dalam keterangan persnya, dikutip pada Sabtu (15/10).
Tak hanya itu, sikap ketidakprofesionalan mereka dalam menanggapi kasus ini pun turut menjadi pertimbangan. Pasalnya, pejabat lembaga sepak bola itu sempat saling lempar tanggung jawab satu sama lain dan tidak menunjukkan empatinya atas kasus tersebut.
“Yang satu mengatakan aturannya sudah begini kami laksanakan, yang satunya bilang sudah kontrak, saya sudah sesuai statuta FIFA,” tambahnya.
Sementara itu, berkaitan dengan Tragedi Kanjuruhan sendiri, Mahfud menjelaskan bahwa tragedi itu terjadi bahkan lebih mengerikan dari yang selama ini beredar di sosial media.
Ia menyebut, pihaknya telah menyelidiki sebanyak 32 CCTV milik aparat yang terpasang di sana.
“Itu lebih mengerikan dari semprot-mati, semprot-mati. Ada yang saling gandengan untuk keluar bersama, satu bisa keluar yang satu tertinggal. Kemudian balik lagi untuk menolong temannya, terinjak-injak mati. Ada juga yang memberi bantuan penapasan karena satunya tidak bisa bernapas, membantu kena semprot juga, mati. Itu lebih mengerikan, karena ada di CCTV,” terangnya.
Mahfud pun menegaskan bahwa tragedi yang menewaskan ratusan orang itu terjadi karena para suporter terinjak-injak saat mereka berlarian panik menyelamatkan diri setelah gas air mata ditembakkan oleh petugas.
Lebih lanjut, kandungan gas air mata yang digunakan saat Tragedi Kanjuruhan, kata Mahfud, saat ini telah diperiksa oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Tetapi, apapun hasil pemeriksaan dari BRIN itu tidak bisa mencoreng kesimpulan bahwa kematian massal itu terutama disebabkan oleh gas air mata,” tegasnya. (AKM/L44)