Lensa JogjaLensa Wisata

Tradisi Tektok Ingatkan Sahur Warga Bendungan Lor

Tradisi membangunkan sahur bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya, tradisi tektok yang dilakukan puluhan pemuda di Desa Bendungan, Wates, Kulon Progo, Yogyakarta.

Setiap dini hari pada bulan Ramadan para pemuda di desa ini akan berkeliling desa untuk membangunkan warga dusun untuk melakukan santap sahur menggunakan musik kentongan sejauh satu kilometer setiap harinya.

Alih-alih menggunakan sound system keras nan bising, tradisi membangunkan sahur di tempat ini justru memanfaatkan beberapa kentongan berbeda ukuran yang menghasilkan irama tertentu ketika dibunyikan.

Tradisi ini pun telah berlangsung selama bertahun-tahun dan menjadi andalan warga agar bisa bangun ketika waktu sahur tiba.

Para pemuda ini berkeliling dengan rute sekitar satu kilometer dan waktu tempuh sekitar satu jam. Sambil berjalan kaki, kentongan berbagai ukuran ini dipukul dengan irama tertentu sehingga menghasilkan suara perkusi. Bersamaan dengan itu pemuda-pemuda yang lain bersholawat dan bernyanyi berbahasa Jawa berisi ajakan untuk segera melaksanakan sahur.

Tradisi Turun Temurun

Aktivitas ini memang telah berlangsung secara turun temurun di pedukuhan ini. Tradisi yang disebut warga sebagai tradisi tektok ini menjadi salah satu andalan warga setempat sebagai penanda untuk segera bangun dari tidur dan menyiapkan menu santap sahur.

“Dari dulukan kentongan ini jarang dipake. Cuma dipake buat ronda aja, kalo sekarang buat bangunin sahur,” ungkap Muhammad Arfan, anggota karang taruna pedukuhan Bendungan Lor.

Kentongan dipilih sebagai media atau sarana lantaran tak begitu mengganggu tapi tetap bisa didengarkan dari jarak tertentu. Hal ini juga berkaitan dengan fungsi kentongan pada zaman dulu yang dimanfaatkan sebagai pemberi sinyal atau kode untuk memanggil warga pada saat ronda, acara ataupun peristiwa tertentu.

“Kentongan itu kan alat untuk mengundang orang-orang gitu kan. Pertama buat tetenger kalo ada orang meninggal agar orang-orang itu berkumpul untuk ngrumat jenazah itu, yang kedua kentongan itu untuk mana ada kebakaran terus ada maling itu tetenger untuk mengumpulkan orang bahwa itu ada bahaya,” ujar Subarman, salah seorang warga sekitar.

“Tapi sekarang. Orang sekarang, generasi muda sekarang dah hilang, ya. Sekarang hanya itu gugah-gugah sahur gitu, kalo pas ulang tahun 17an itu buat kirab,” lanjutnya.

Tradisi tektok ini selalu dinantikan warga dan tak mendapatkan protes. Warga justru protes apabila tek-tok tak dilakukan sehingga warga tak bisa bangun sahur. Tradisi ini pun bakal terus dilestarikan warga setempat lantaran menjadi salah satu warisan budaya, terlebih kentongan yang digunakan hingga saat ini juga telah berusia puluhan tahun sehingga memiliki historis tersendiri bagi warga.

Penulis: Tim Liputan

Editor/redaktur: Rizky/Wara

Baca : https://lensa44.com/tradisi-donotirto-kembul-nasi/

Share