HeadlineLensa Terkini

Alasan MK Tolak Legalkan Permohonan Nikah Beda Agama

Mahkamah Konstitusi (MK) telah secara resmi menolak gugatan pelegalan pernikahan beda agama, yang diajukan oleh pria bernama E. Ramos Petege dengan nomor perkara 71/PUU-XX/2022, pada Selasa (31/1) lalu.

Amar putusan, mengadilimenolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan putusannya.

Lalu, seperti apa alasan rinci MK menolak gugatan tersebut?

Faktor HAM Dalam Perkawinan

Dilansir dari situs resmi MK, Kamis (2/2), putusan penolakan pernikahan beda agama itu dilandasi faktor HAM dalam pernikahan menurut Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974.

Menurut MK, meski HAM telah diatur secara global dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR), namun hal tersebut juga dikembalikan dan disesuaikan dengan falsafah serta ideologi masing-masing negara.

Hakim Konstitusi, Eny Nurbaningsih, menjelaskan bahwa putusan ini juga merujuk pada rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945,  di mana ada dua hak yang dijamin secara tegas yakni “hak membentuk keluarga” dan hak melanjutkan keturunan”.

Meski dalam UDHR faktor tersebut memungkinkan untuk melegalkan pernikahan agama, namun tidak pada UUD 1945.

“Dengan menggunakan kaidah hukum, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban hukumnya menjadi wajib (mâ lâ yatiimmu alwâjibu illâ bihî fahuwa wâjib), maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi,” kata Eny.

Aturan Perkawinan

Dijelaskan oleh Hakim Konstitusi, Wahidudin, bahwa perkawinan yang merupakan bagian dari peribadatan agama sebenernya terbagi menjadi dua, pertama beragama dalam pengertian menyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi pemaksaan bahkan tidak dapat diadili.

Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati Nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum.

Dalam hal ini, perkawinan termasuk dalam forum eksternum, di mana ada campur tangan negara dalam menjalankan prosesinya, serupa pengelolaan zakat dan haji.

“Peran negara bukanlah membatasi keyakinan seseorang melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974,” kata Wahidudin.

Ia melanjutkan, hal ini juga berkaitan dengan  Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum.

Negara Menjamin Penyelenggaraan Pernikahan

Wahidudin menjelaskan, bahwa dalam hal pernikahan negara juga bertugas untuk memastikan kelangsungan pernikahan warga negaranya sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.

Hal tersebut secara resmi termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f UU 1/1974 telah sesuai dengan esensi Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945 yakni berkaitan dengan kewajiban negara untuk menjamin pelaksanaan ajaran agama.

“Pada ketentuan Pasal 2 UU 1/1974 pencatatan yang dimaksud ayat (2) haruslah pencatatan yang membawa keabsahan dalam ayat (1). Dengan demikian, UU tersebut menghendaki agar perkawinan yang dicatat adalah perkawinan yang sah. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara merupakan kewajiban administratif. Sedangkan perihal sahnya perkawinan dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) a quo, negara justru menyerahkannya kepada agama dan kepercayaannya karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan,” jelasnya.

Selain itu, warga negara yang sudah melangsungkan pernikahannya sesuai dengan hukum dan agamannya, berhak untuk mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil setempat. (AKM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *