Lensa Terkini

Amnesty International: HAM di bawah Tekanan Penguasa

Amnesty Internastional dalam laporan tahunannya bertajuk ‘Report 2021/22: The State of the World’s Human Rights’ menyebutkan setidaknya ada tiga tren utama yang terjadi di 154 negara, di antaranya kesehatan dan ketidaksetaraan, ruang sipil, dan dorongan balik yang dilakukan negara belahan utara terhadap pengungsi dan migran.

Atas laporan ini, Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, tak menampik bahwa Indonesia menjadi salah satu dari 154 negara tersebut, yang masih memiliki masalah dengan keadilan dan penegakan HAM.

“Tren pengekangan suara-suara kritis oleh aparat negara masih terus terjadi di seluruh dunia, dan Indonesia bukan pengecualian. Ini terlihat saat Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik hanya karena mendiskusikan hasil riset terkait pelanggaran HAM,” kata Usman dalam keterangan tertulisnya, Selasa (29/3).

Bukan saja soal Fatia dan Haris Azhar, Usman juga menyebutkan sederet kasus lain, yang mekanismenya justru menjerat warga tak bersalah melalui pasal karet, yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

“Menindak individu yang mengkritik kebijakan dan aktivitas pemerintah juga terus terjadi sepanjang 2021, di setidaknya 91 kasus yang melibatkan 106 korban. Salah satu korbannya adalah Saiful Mahdi, dosen dari Universitas Syiah Kuala Provinsi Aceh, yang menjalani hukuman penjara tiga bulan pada 2 September setelah dinyatakan bersalah atas kritik yang ia sampaikan,” terangnya.

Usman menjelaskan, bahwa kesalahan pemerintah Indonesia adalah tidak menggunakan aturan sebagaimana mestinya. Bahkan, setelah sederet kasus itu dan desakan untuk merevisi UU tersebut, sampai saat ini UU ITE masih hidup berjaya dengan kemungkinan akan menyasar korban lain.

Bukan saja soal kebebasan berpendapat, Amnesty juga menyoroti maraknya tindak kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga sipil.

“Kejadian-kejadian seperti ini kembali terjadi di awal tahun 2022. Pada tanggal 15 Maret 2022, misalnya, dua orang pengunjuk rasa yang melakukan aksi menolak pemekaran daerah otonomi baru di Kabupaten Yahukimo, Papua, tewas, diduga ditembak oleh aparat,” terangnya.

Hal-hal semacam itu, kata Usman, tidak hanya terjadi di Indonesia. Melainkan ada setidaknya 67 negara yang menerbitkan undang-undang untuk membatasi ruang gerak warga sipil.

Beberapa di antaranya adalah Kamboja, mesir, Pakistan, turki, dan amerika serikat. Diketahui, Kamboja memberlakukan layanan internet setiap warga akan dipantau oleh badan pengawas. Kemudian di Pakistan, diterbitkan undang-undang untuk menyensor konten daring.

Di Rusia, dilakukan pengenalan wajah untuk dapat menangkap para pengunjuk rasa yang berjalan secara massal. Sementara China, juga memblokir situs atau layanan internet, yang dianggap mengancam keamanan nasional. Negara lain yang juga bersikap seperti China Adalah Kuba, Eswatini, Iran, Myanmar, Niger, Sudan Selatan, dan Sudan.

“Pihak berwenang di Indonesia harus berkaca pada situasi global dan memastikan bahwa Indonesia tidak terus mengikuti tren situasi HAM yang memburuk,” tutup Usman. (AKM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *