Lensa Terkini

Secuil Cerita Lada Sambas, Penyedap Rasa Pembangkit Asa Warga Desa

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang bekerja sama dengan PT BNI (Persero) dan Rumah BUMN wilayah Kalimantan Barat, telah meresmikan Desa Devisa Lada Sambas pada awal Desember 2022 lalu.

Desa Devisa Lada Sambas menjadi program baru yang diusung oleh LPEI untuk mendampingi proses para petani lada di Kabupaten Sambas, mulai dari pengelolaan lahan pertanian hingga nanti merambah ke pasar ekspor.

Selama ini, warga Sambas mampu bertahan hidup dengan menggantungkan hidupnya pada bumbu dapur lada. Lalu, seperti apa cerita lada menjadi penghidupan turun-turun warga Samba?

Bagi petani tepi Sungai Sambas, lada bukan hanya sekedar rempah yang tumbuh di sekitar hunian warga desa dan bumbu penyedap rasa. Tanaman lada  yang tumbuh disangga kayu kokoh itu mampu menopang ketahanan ekonomi keluarga yang bermukim di sejumlah desa di lintasan jalur sungai bagian barat Provinsi Kalimantan.

Petani Sambas telah membudidayakan lada lebih dari tiga generasi ini hingga sanggup mengantarkan anak-anak  Desa Sendoyan menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Haji Muslimin, misalnya.

Dalam kesempatannya, Haji Muslimin bercerita bahwa dirinya telah lebih dari 30 tahun hidup bergantung pada lada.

“Anak saya 7 orang. Alhamdullilah sudah lulus sekolah dan bekerja dari hasil lada ini. Ada yang menjadi sarjana pertanian, sarjana kehutanan, dan guru,” kata Haji Muslimin.

Tak sampai di situ, ketekunannya dalam mengelola lada juga mengantarnya ke Tanah Suci untuk beribadah Haji. Ia pun mengaku tak pernah membayangkan bisa berangkat ke tempat ibadah kerinduan umat muslim sedunia itu.

Tumbuhan lada, yang tertata rapi menyelimuti sebagian lahan hijau bumi Borneo itu, sempat mengalami masa kejayaan dengan bibit unggul varietas Bengkayang.

Melalui koperasi yang awalnya diinisiasi oleh 3 srikandi Sambas, petani lada mencoba bangkit dengan nilai tambah produk olahan lada bubuk yang telah dipasarkan sampai ke negeri seberang, Malaysia.

Namun sayangnya, Juliansyah sebagai Kepala Desa Sendoyan, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, menjelaskan bahwa sebagai wilayah 3T (tertinggal, terpencil, dan terluar) perbatasan NKRI yang hanya berjarak  kurang dari 200 km dari Kota Kucing Malaysia, saat ini wilayahnya tengah digempur dengan  rentetan ancaman ekonomi yang dibawa bersamaan masuknya produk-produk buatan Malaysia. 

“Mengingat hal itu, sudah sepatutnya menjadi kewajiban kita untuk meningkatkan taraf ekonomi Sambas agar bisa keluar dari status 3T. Salah satunya melalui produk unggulan lada Sambas yang kaya potensi untuk mendunia,” jelasnya.

Kendati begitu, kondisi petani lada Sambas masih terselamatkan oleh kian banyaknya industri makanan yang bermunculan. Sehingga, itu menjadi sebuah peluang untuk mengolah sumber daya daerahnya yang kaya akan tanaman lada dengan harapan bisa memasok ke berbagai daerah di Indonesia.

Keunikan cita rasa yang tidak terlalu pedas dan berbeda dari lada lainnya merupakan sesuatu yang patut dicicipi lidah penggemar rempah.

Sehari-hari, para petani dari dua belas desa di Kabupaten Sambas berkumpul di hamparan tanaman lada seluas 213 hektar yang berlokasi di Desa Sedoyan. Dengan penuh perhatian mereka membudidayakan tanaman yang dijuluki “King of Spices” itu hingga musim panen tiba.

Di bawah terik matahari maupun derasnya hujan, sebanyak 629 petani lada berpugak-pugak demi menghasilkan lada  yang juga menjadi sumber penghasilan mereka.

Waktu panen tiba, mereka akan memulai proses pemetikan buah lada dari pohonnya. Kemudian, lada dipisahkan dari tangkainya sebelum dijemur sekitar empat hari lamanya.

Kerja keras petani tidak sia-sia. Dalam satu tahun, petani lada Sambas dapat menghasilkan sebanyak 200 ton biji kering. Biji mentahan tersebut, nantinya dibeli oleh Koperasi Srikandi Jaya Sambas.

Di bawah merek Batu Layar, biji lada hasil panen petani disulap menjadi lada bubuk. Prosesnya, lada kering yang dibeli melewati proses penggilingan hingga menjadi butiran kecil halus. Lada yang sudah menjadi bubuk, selanjutnya dikemas dalam botol berukuran 80 gram, label Batu Layar terpampang di depan botol.

Kapasitas produksi lada ini dapat mencapai 1.800 botol tiap bulannya. Hingga kini, produk lada bubuk Sambas masih dipasarkan secara lokal melalui toko sembako dan pelaku usaha kuliner. Namun, tentu tidak menutup kemungkinan bagi komoditas primadona Kabupaten Sambas ini untuk menembus pasar yang lebih luas, tidak hanya di daerah perkotaan tapi juga hingga ke seluruh daerah pelosok di Indonesia. (AKM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *