Lensa Jogja

Kenang Satu Tahun Syafii Maarif: Pemikiran Buya Syafii Perlu Diwarisi

Prof. Dr. K.H. Ahmad Syafii Maarif dikenal sebagai guru bangsa. Beliau berpulang ke rahmatullah pada Jumat, 27 Mei 2022 lalu. Buya Syafii, begitu panggilan akrabnya, bukan hanya dikenal sebagai seorang guru bangsa dengan kepribadian yang humanis, tetapi juga dikenal sebagai sejarawan yang kritis. Pemikiran-pemikirannya tentang isu-isu keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan perlu diwarisi oleh generasi berikutnya.

Hal itulah yang menjadi benang merah dalam acara Sarasehan “Mengenang 1 Tahun Buya Syafii Maarif: Kemanusiaan, Keindonesiaan, dan Keislaman” hari Rabu (29/11) di Ruang Amphitheater lantai 4 Gedung Pascasarjana UMY. Kegiatan tersebut digelar dalam rangka mengenang Buya Syafii, dan diselenggarakan oleh Program Studi Doktor Politik Islam-Ilmu Politik, Program Pascasarjana, Lembaga Riset dan Inovasi (LRI), Ahmad Syafii Maarif (ASM) School Thought and Humanity Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Hamim Ilyas selaku Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Adib Sofia dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga dan Erik Taufan Somae dosen Universitas Ahmad Dahlan.

Hamim Ilyas yang menyampaikan tentang pandangan Buya Syafii tentang kemanusiaan, keindonesiaan, dan keislaman mengatakan bahwa Buya Syafii menilai tiga hal tersebut dapat bersatu, beriring dan saling melengkapi. Dalam menjalankan ketiganya, pandangan-pandangan Buya dinilai selalu merujuk kepada Al-Quran dan hadits.

“Buya memandang tentang keindonesiaan, keislaman dan kemanusiaan itu bisa menyatu, saling beriringan. Buya selalu merujuk pandangannya kepada Al-Quran dan hadits,” tandas Hamim.

Ia pun mengungkapkan bahwa dalam menghadapi permasalahan keindonesiaan, keislaman dan kemanusiaan, Buya Syafii selalu mengatasinya dengan dakwah.

“Intinya kalau ada masalah keindonesiaan, maka dihadapinya dengan dakwah. Kita sekarang melanjutkan dakwah Buya, membangun bangsa Indonesia supaya menjadi pribadi yang mutmainnah. Melanjutkan perjuangan Buya saat ini sudah lebih mudah, dibanding perjuangan nabi dulu,” imbuhnya.

Sementara itu, Adib Sofia menyampaikan pandangan Buya Syafii tentang perempuan. Menurutnya, meskipun tidak terlalu banyak menulis tentang perempuan, Buya Syafii mendukung kesetaraan gender, tapi tidak secara bebas. Adib juga mengingat pesan yang disampaikan Buya Syafii untuk menjadikan Siti Haniyah sebagai panutan. Generasi kita tidak boleh amnesia terhadap sosok perempuan intelektual ‘Aisyiyah tersebut.

“Saya ingat, Buya berkata kepada saya, jadikan Haniyah sebagai sosok yang perlu dijadikan rujukan, karena wawasannya luas, bahasa tulisnya bagus, kepemimpinannya luar biasa. Haniyah adalah karakter perempuan pemimpin (dengan qolam dan kalam). Haniyah, selain sosok yang pandai menulis juga merupakan singa podium,” tutur Adib.

Siti Haniyah sendiri adalah satu dari 14 tokoh besar yang menggawangi Kongres Perempuan 1 (22-25 Desember 1928). Ia mewakili ‘Aisyiyah pada kongres yang dihadiri 1000 orang dari 30 organisasi di Jawa dan Sumatera. Saat itu, Haniyah membawakan orasi tentang persatuan manusia.

“Amanah Buya adalah menganalisis pidato Haniyah tentang persatuan manusia itu,” imbuh Adib.

Di sisi lain, Erik Taufan Somae yang juga asisten pribadi Buya Syafii turut menceritakan kedekatannya dengan Almarhum. Ia mengungkapkan bahwa ia telah mendampingi Buya Syafii selama 10 tahun, mulai tahun 2012 hingga 2022. Bahkan, Erik masih bersama Buya satu jam sebelum meninggalnya. Buya dianggap sebagai sosok yang dekat dengan anak muda, dikenal dengan pemikiran dan pandangan kontroversial yang sering kali melampaui pemahaman umum.

Meskipun pemikirannya kontroversial, Buya adalah sosok yang menjaga ibadahnya dengan baik, mengutamakan sholat dan sering ditemui di masjid. Ia rajin melaksanakan ibadah tahajjud, menulis setelah sholat, rutin berpuasa Senin-Kamis, dan mengaji Al-Quran. Buya dikenal sebagai individu yang sangat tepat waktu, selalu datang lebih awal, dan sangat menghargai kedisiplinan waktu, serta merupakan pendengar yang baik.

“Buya itu lebih gampang ditemui di masjid,” ungkap Erik.

Dalam pergaulannya, Erik mengungkapkan, Buya Syafii mampu bersahabat dengan siapa pun. Buya memiliki wawasan yang luas karena kegemarannya membaca dan menulis.

“Buya pernah bilang, curi sebagian waktu tidurmu untuk membaca, itu membekas sekali. Bahkan kegemaran menulis sudah menjadi tradisi Buya sejak masa remajanya,” pungkas Erik.

Penulis: Joko Pramono

Editor/redaktur: Rizky/Wara

Share