Lensa Manca

Gempar Munculnya Fenomena Dedolarisasi, Malapetaka Bagi Amerika

Posisi Amerika Serikat (AS) yang digadang-gadang memegang hegemoni dunia, kini mulai terancam. Hal ini terlihat dari beberapa negara yang mulai tidak patuh pada negara Paman Sam, terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina.

Dedolarisasi mengacu pada proses pengurangan atau penghapusan penggunaan dolar AS sebagai mata uang utama dalam perekonomian suatu negara. Hal ini dapat didorong oleh berbagai faktor, seperti ketegangan geopolitik, ketidakstabilan ekonomi, atau keinginan untuk meningkatkan kedaulatan negara.

Di bidang ekonomi, negara-negara di dunia mulai berpikir untuk mengurangi penggunaan dolar Amerika dalam perdagangannya. Isu ini mulai didengungkan dalam asosiasi perdagangan BRICS yang beranggotakan dua rival Washington yaitu Tiongkok dan Rusia, sedangkan sisanya adalah Brazil, India dan Afrika Selatan.

Bersama dengan negara-negara BRIC (Brasil, India, Rusia, China/Tiongkok, dan Afrika Selatan), Brasil mulai mengumumkan pembentukan mata uang baru. Uang ini akan diamankan dengan emas dan komoditas lainnya, termasuk logam tanah jarang.

Brasil dan Tiongkok juga menandatangani kesepakatan untuk membuang dolar dalam perjanjian perdagangan mereka pada akhir Maret 2023.

Nilai kesepakatan tersebut sangat besar, mengingat total perdagangan antara kedua negara menembus $171,49 miliar. Dengan kata lain, ada permintaan dolar sebesar $171 miliar yang hilang dalam perdagangan global.

Kesepakatan tersebut merupakan kemenangan yang jelas bagi kampanye Tiongkok untuk menginternasionalkan mata uang renminbi/Yuan.

Selain BRICS, Arab Saudi juga menjadi negara berikutnya yang tertarik untuk mengurangi ketergantungannya pada dolar. Pada tahun 2022, beredar kabar bahwa Riyadh melakukan pembicaraan aktif dengan Tiongkok untuk menggunakan mata uang yuan untuk membeli minyak.

The Wall Street Journal menulis bahwa perdebatan ini sebenarnya telah berlangsung selama enam tahun. Tetapi, ketidakpuasan Arab Saudi terhadap komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan dengan Beijing kian gencar.

“Arab Saudi marah atas kurangnya dukungan AS untuk intervensi mereka dalam perang saudara Yaman dan atas upaya pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan dengan Iran mengenai program nuklirnya,” tulis media tersebut kala itu, dikutip lensa44.com pada Kamis (13/4)

“Para pejabat Arab Saudi mengatakan mereka terkejut dengan penarikan mendadak AS dari Afghanistan tahun lalu,” tambahnya.

Selain itu, Riyadh dan Teheran pada bulan lalu juga telah menyetujui untuk melanjutkan hubungan diplomatik setelah jeda sekitar delapan tahun. Normalisasi ini dimediasi oleh Tiongkok, yang oleh banyak komunitas internasional sebagai pukulan terhadap hegemoni AS di Timur Tengah dan dunia.

Di belahan dunia yang lain, negara seperti India, ASEAN, termasuk Indonesia, juga tidak mau ketinggalan untuk mulai mengurangi proporsi penggunaan dolar dalam perdagangan.

India telah mengumumkan kebijakan baru untuk lebih meningkatkan penggunaan rupee dalam perdagangannya mulai April 2023. Mereka juga telah membuat perjanjian dengan negara lain seperti Malaysia, untuk menggunakan mata uang mereka sendiri dalam transaksi perdagangan.

Indonesia dan negara-negara ASEAN juga mulai meningkatkan penggunaan mata uangnya sendiri melalui Local Currency Transaction (LCT).

Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina telah menandatangani perjanjian kerja sama pembayaran lintas batas menggunakan kode QR, fast payment, data, dan pembayaran mata uang lokal. Indonesia telah menandatangani Local Currency Settlement (LCS) dengan sejumlah negara, di antaranya adalah Malaysia, Thailand, Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. (APA/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *