Lensa JogjaLensa Terkini

Akui Tidak Mudah, Berikut Tantangan Mendigitalisasikan Aksara Daerah Menurut Pegiat Aksara

Kurangnya minat anak muda Indonesia, serta minimnya sumber daya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia terhadap proses pengembangan aksara daerah, menjadi daftar tantangan para pegiat aksara dalam melestarikan aksara daerah.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Cokorda Rai Adi Pramartha, salah satu pegiat aksara daerah Bali.

“Banyak anak muda yang takut akan pelajaran muatan lokal (mulok) karena takut harus belajar aksara Bali. Guru-guru yang mengajar hal tersebut juga kekurangan sumber daya untuk mengajarkan aksara bali, apalagi ketika pandemi, karena banyak materi yang tidak tersedia dalam bentuk digital, maupun di Internet,” ungkapnya pada Workshop yang bertajuk “Implementation of Indigenous Script”, pada Sabtu (21/5).

Untuk menjawab permasalahan tersebut, proses digitilasasi aksara daerah menjadi salah satu solusi yang dapat diimplementasikan. Namun rupanya, proses digitalisasi bukanlah hal yang mudah. Hal itu, terbukti dari data yang ditampilkan oleh Pengelola Nama Domain Internet Indonesia, bahwa dari 7 aksara daerah yang telah terdaftar di Unicode (standart Teknis Simbol, Teks dan Sistem Tulisan di dunia), baru tiga yang mendapatkan SNI (Standart Nasional Indonesia).

Hal tersebut disebabkan oleh keunikan yang dimiliki oleh tiap-tiap aksara daerah. Seperti bentuk, jenis, tingkatan, dan perubahan penyebutan dari tiap perubahan hurufnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Setya Amrih Prasaja, pegiat Aksara Jawa.

“Tiap-tiap bentuk dari huruf itu memiliki keunikannya sendiri, Ketika hurufnya ditulis sambung bisa berubah artinya. Contohnya ‘to’ dan ‘sho’,” ungkapnya sembari mempratekkan penyebutan hurufnya.

Setya juga menambahkan, bahwa ragam dari tiap-tiap aksara beragam dan tiap ragam memiliki lagamnya tersendiri.

“Ragam aksara Jawa sangat beragam dan tiap ragam itu seperti Bahasa Arab yang punya lagamnya tersendiri, tiap ragam juga punya lagamnya sendiri,” tambahnya.

Selain itu, mereka juga mengungkapkan bahwa peran pemerintah merupakan hal yang krusial dalam proses digitalisasi aksara-aksara daerah tersebut. Karena menurut mereka, tanpa pemerintah proses digitalisasi aksara daerah akan sangat sulit karena butuh perizinan, hak paten, serta sosialisasi.

“Karena masing-masing aksara punya keunikannya masing-masing, kita butuh pemerintah untuk membantu kami dalam menetapkan standarisasi aksara daerah, dan hak patennya. Kami juga butuh mereka untuk proses sosialisasi,” ungkap Ilham Nurwansah, pegiat aksara Sunda. (AB/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *