Lensa Jogja

Tradisi Rebo Pungkasan, Merajut Syukur dari Bendung Kayangan

Meski masih dalam suasana pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Festival Kembul Sewu Dulur kembali digelar warga di Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulonprogo. Ini merupakan bagian dari tradisi Rebo Pungkasan atau Rabu Terakhir di bulan Sapar dalam kalender Jawa sebagai wujud syukur warga yang digelar di tepi Sungai Bendung Kayangan.

Ditengah kondisi pandemi yang dirasa mulai melandai disambut antusias oleh warga di Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulonprogo. Mereka berbondong-bondong menuju tepi Sungai Bendung Kayangan sembari menenteng bekal berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya.

Meski tak seramai saat sebelum pandemi merebak, namun budaya Saparan Kembul Sewu Dulur atau santap bersama yang menjadi puncak dari rangkaian Festival Budaya Rebo Pungkasan atau rabu terakhir di bulan Sapar dalam kalender Jawa berjalan khitmat.

Sembari duduk di atas bebatuan sungai dan hanya dengan beralas tikar, tradisi ini dihadiri dari berbagai elemen masyarakat. Usai doa syukur kepada Sang Pencipta dipanjatkan yang dipimpin langsung oleh pemuka adat, warga beramai-ramai menyantap hidangan yang telah dibawa.

Suasana kebersamaan begitu kental terasa. Warga dari berbagai rentang usia dan jenis stasus sosial larut dalam keguyuban santap bersama tersebut seperti saudara kandung.

Meski digelar secara sederhana, tradisi Rebo Pungkasan bagi warga merupakan adat budaya yang penuh makna. Selain sebagai bentuk syukur, acara tersebut juga menjadi ajang berkumpul para warga untuk menjalin kerukunan dan keguyuban meski masih dalam bayang-bayang pandemi Covid-19.

Ditengah suasana menikmati santap bersama, dilangsungkan pula pertunjukan kesenian Ngguyang Jaran atau membersihkan kuda lumping yang merupakan simbol pembersihan diri sebelum menjalani kehidupan kedepannya.

Upacara adat Rebo Pungkasan tidak terlepas dari keterikatan sosio historis warga terhadap sebuah bendungan yang menjadi sumber kehidupan warga setempat. Baik untuk  irigasi pertanian, kebutuhan sehari-hari, hingga pengembangan kawasan wisata.

Keberadaannya tak terlepas dari peran sosok Mbah Bei, warga desa setempat yang masih memiliki garis keturunan Raja Brawijaya. (lensa44.com/JP)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *