Lensa Jogja

Rela Jual Kambing Demi Fasilitasi Anak Didik Pentas

Kecintaan pada seni membuat orang bisa melakukan apapun untuk mempertahankan dan mengapresiasinya. Seperti yang dilakukan olah Didik Krismiyanto, pemilik Sanggar Seni Candrika Adikara Kadibeso, Sabdodadi, Bantul, Yogyakarta, yang rela menjual dua kambing kesayangannya, demi memfasilitasi anak didiknya tampil pada sebuah panggung pementasan.

Meski serba kekurangan, namun tak menghalangi penyandang disabilitas dari SLB Bina Siwi untuk unjuk kebolehan memainkan seni karawitan. Kendang, boning, gong hingga melantunkan langgam, mampu mereka selaraskan dengan irama yang indah.

Tak hanya itu, ada pula aksi lincah anak-anak PAUD lainnya, yang menari dengan memadukan permainan tradisional Cublak Cublak Suweng. Gemulai tarian klasik yang dibawakannya, memecah sunyinya malam di tengah perkampungan.

Didik mengaku merasa bangga saat melihat binaannya, yang bisa berkreativitas dalam satu panggung.

Setidaknya, apa yang ia perjuangan dengan rela menjual 2 ekor kambing kesayangannya demi menyediakan fasilitas seluruh pementasan, berbuah manis.

Sanggar yang diurusnya itu, hingga saat ini belum tersentuh bantuan dan dukungan dari pihak manapun, bahkan kendati wilayahnya masuk menjadi desa mandiri budaya.

“Saya kasihan dengan anak-anak, hanya latihan latihan dan latihan tidak pernah diapresiasikan dengan penonton, mereka tidak akan punya semangat untuk berkembang dan melestarikan budaya,” kata Didik.

Hayuningtyas Ramadhanti dan Maicha Yaskia Alamanda, adalah 2 dari 35 siswa sanggar, yang mengaku senang bisa tampil dalam sebuah pementasan, setelah beberapa bulan belajar menari. Remaja kelas 1 SMK di Bantul itu, turut bangga bisa terlibat dalam melestarikan seni budaya daerah.

“Budaya kita itu harus dilestarikan lagi. Kita sebagai anak muda itu harus melestarikan budaya kita, agar tidak diklaim negara lain atau punah,” terang Hayuningtyas.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Bantul, Nugroho Eko Setyanto, mendesak pendamping desa budaya, untuk memberikan dukungan sepenuhnya bagi eksistensi sanggar, yang selama ini tetap eksis secara mandiri dalam melestarikan seni tradisi.

“ketika sudah mandiri seperti ini, jadi kewajiban bagi pemerintah ke depan untuk memikirkan hal ini,” katanya.

Dirintis sejak 2014 lalu, siswa yang belajar di sanggar ini datang dari berbagai usia, yakni tingkat PAUD hingga dewasa. Karena kecintaannya pada seni, membuat Didik rela melakukan apapun untuk mempertahankan dan mengapresiasi seni tradisi, sebagai bentuk sumbangsih terhadap pengembangan seni dan budaya yang ada di masyarakat. (JACK/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *