Rayakan 3 Tahun Jokowi-Ma’ruf, KontraS: Demokrasi Ambruk!
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis catatan evaluasi terhadap kinerja Presiden, dalam mengawal kasus HAM selama 3 tahun menjabat. Tulisan tersebut mereka rilis dalam situs resminya, pada Kamis (20/10).
“Selama setahun terakhir, kami juga secara aktif melakukan pemantauan dan advokasi guna mendorong perbaikan situasi agar negara dapat menunaikan kewajibannya dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warganya sebagaimana yang dimandatkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” tulisnya, dikutip pada Jumat (21/10).
Kontras menilai bahwa demokrasi dan HAM di Indonesia tidak mengalami perbaikan yang signifikan pada tahun ketiga kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf.
Adapun beberapa catatan evaluasi dari KontraS, di antaranya:
Pertama, upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat belum fokus pada pemulihan terhadap korban. Selama ini, penyelesaian pelanggaran HAM hanya diarahkan pada pemutihan tanggung jawab pelaku.
Selain itu, KontraS juga menilai bahwa selama setahun belakangan banyak langkah kontraproduktif yang ditempuh. Beberapa di antaranya adalah penyelenggaraan sidang pengadilan HAM Paniai yang berlangsung buruk dan pengangkatan penjahat kemanusiaan menjadi Panglima Kodam Jaya.
Kedua, Presiden dinilai kurang tegas terhadap kepolisian. Hal tersebut menyebabkan gagalnya reformasi kepolisian. Agenda reformasi kepolisian adalah salah satu janji yang belum ditunaikan Jokowi hingga saat ini.
Menurutnya, perbaikan yang ada hanya menyoroti citra semata, bukan kinerja. Padahal, keresahan masyarakat harus dijawab lewat perbaikan struktural di tubuh Polri.
Ketiga, ruang kebebasan sipil semakin mengecil. Hal tersebut ditunjukkan melalui penggunaan UU ITE hingga kriminalisasi oleh pejabat negara.
Represi terus dilakukan kepada mereka yang menyuarakan kritik, baik di ranah publik maupun digital. Selain itu, pembela HAM juga kerap mengalami serangan dan kriminalisasi. Presiden pun dinilai telah membuat demokrasi ambruk dengan membiarkan wacana 3 periode dan perpanjangan masa jabatan.
Keempat, situasi di Papua yang kian memburuk. Hal tersebut dipicu oleh pemaksaan kepentingan Jakarta dan berlanjut ke eskalasi kekerasan.
Presiden Jokowi dinilai gagal menyelesaikan masalah yang semakin karut-marut. Pendekatan keamanan, rentetan kekerasan, penyiksaan, penghilangan paksa, hingga pembunuhan terhadap Orang Asli Papua (OAP) tak kunjung berakhir.
Kelima, ambisi pembangunan dan pembukaan kran investasi tak jarang diiringi pengesahan kekuatan yang berimplikasi pada pelanggaran HAM.
Aparat menggunakan dalih keamanan untuk mengerahkan kekuatan secara berlebihan dan tidak memberikan perlindungan kepada masyarakat. Selain itu, politik keberpihakan terhadap pemilik modal oleh Presiden, justru mengabaikan hak-hak masyarakat dan semakin membuktikan bahwa rezim pemerintahan kian memfasilitasi kepentingan oligarki.
Keenam, lip service hanya demi menjaga nama baik di kancah internasional terus dilanggengkan. Padahal, kenyataannya Indonesia tidak seindah itu.
Rekomendasi dari PBB pun minim dijalankan oleh Presiden. Pemerintah cenderung resisten dalam mengatasi situasi yang terjadi di Papua. Selain itu, KontraS juga menyoroti sikap paradoks Indonesia mengenai hukuman mati. Di satu sisi Indonesia melanggengkan hukuman mati, tetapi tidak ingin warga negaranya divonis hukuman mati di negeri lain. (ANS/L44)