Lensa Manca

Pembatasan Covid-19 di China Berujung Ricuh

Otoritas beberapa wilayah di Tiongkok kembali memperketat pencegahan dan pengendalian pandemi Covid-19, salah satunya adalah Beijing, di mana telah menutup sekolah, restoran, dan pusat keramaian. Bahkan, otoritas setempat juga memberlakukan lockdown secara parsial.

Hal ini diberlakukan karena Komisi Kesehatan Nasional Negara China mencatatkan rekor tertinggi angka Covid-19 baru per Minggu (26/11), yang saat ini sudah menyentuh 40.347 penularan. Sebanyak 3.822 di antaranya bergejala dan 36.525 tidak bergejala.

Rekor tersebut, bahkan belum termasuk angka infeksi impor, di mana Tiongkok melaporkan 40.052 kasus lokal baru, 3.748 di antaranya bergejala dan 36.304 tidak bergejala, naik dari 39.506 sehari sebelumnya.

Oleh sebab itu, sejak dua pekan yang lalu, otoritas kesehatan kota Beijing telah mengingatkan warga agar tidak keluar rumah, kecuali untuk urusan yang sangat mendesak. Warga Beijing juga diwajibkan melakukan tes PCR setiap hari di pos-pos tes PCR terdekat.

Jalan-jalan di Chaoyang, distrik terpadat di ibu kota, bahkan semakin sepi minggu ini. Area perbelanjaan kelas atas, juga hampir sepi. Pembatasan tersebut juga berdampak pada penduduk yang dikurung serta produksi di pabrik, termasuk pabrik iPhone terbesar di dunia di kota Zhengzhou, yang beberapa waktu lalu diguncang oleh bentrokan antara pekerja dan petugas keamanan.

Warga Xinjiang pun melakukan protes agar lockdown daerah yang dilakukan di wilayah tersebut segera diakhiri. Protes besar meletus di Xinjian barat dan kerumunan orang di sana meneriaki penjaga yang mengenakan pakaian hazmat untuk segera menyudahi lockdown.

“Akhiri penguncian!” ungkap demonstran dalam video yang beredar.

Video pendek yang beredar luas itu turut memperlihatkan orang-orang di alun-alun menyanyikan lagu kebangsaan Tiongkok dengan liriknya, “Bangkitlah, mereka yang menolak menjadi budak!”

Sementara itu, yang lain berteriak ingin dibebaskan dari lockdown. Tiongkok telah menempatkan wilayah Xinjiang yang luas di bawah lockdown terlama di negara itu, dengan banyak dari 4 juta penduduk Urumqi dilarang meninggalkan rumah mereka selama 100 hari. Kota itu melaporkan sekitar 100 kasus baru masing-masing dalam dua hari terakhir.

Protes atas pembatasan Covid-19 yang ketat di Tiongkok juga menyebar ke lebih banyak kota, termasuk pusat keuangan Shanghai. Pada Minggu, hampir tiga tahun setelah pandemi dimulai, gelombang kemarahan baru dipicu oleh kebakaran mematikan di ujung paling barat negara itu.

Gelombang protes sipil belum pernah terjadi sebelumnya di Tiongkok daratan, sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kekuasaan satu dekade lalu. Kini, warga diselimuti rasa frustasi atas kebijakan nol-Covid dari Xi Jinping 3 tahun setelah pandemi merebak.

Menjelang Minggu malam, ratusan orang berkumpul di kawasan Shanghai. Beberapa berdesak-desakan dengan polisi yang mencoba membubarkan mereka. Orang-orang pun mengangkat kertas kosong sebagai ekspresi protes. Selain itu, hari sebelumnya juga telah dilakukan penyalaan lilin yang berubah menjadi aksi demonstrasi di wilayah tersebut.

Seorang saksi melihat polisi mengawal orang ke dalam bus yang kemudian dibawa pergi melewati kerumunan dengan beberapa lusin orang di dalamnya.

“Turunkan Partai Komunis China, turunkan Xi Jinping”, dalam sebuah protes di Shanghai.

Para pengunjuk rasa juga turun ke jalan-jalan di kota Wuhan dan Chengdu. Sementara mahasiswa di berbagai kampus universitas di seluruh Tiongkok, berkumpul untuk berdemonstrasi selama akhir pekan.

Kepemimpinan Tiongkok memang terjebak oleh nol-Covid yang merupakan kebijakan khas Presiden Xi Jinping. Ia tak peduli, bahkan ketika sebagian besar dunia mencoba hidup berdampingan dengan virus.

Mengakui tekanan pada ekonomi, kabinet mengatakan Tiongkok akan menggunakan pemotongan tepat waktu dalam cadangan kas bank dan alat kebijakan moneter lainnya untuk memastikan likuiditas yang cukup

Sementara itu, broker Nomura memangkas perkiraan PDB Tiongkok untuk kuartal keempat menjadi 2,4% year-on-year dari 2,8%, dan memangkas perkiraan pertumbuhan setahun penuh menjadi 2,8% dari 2,9%, yang jauh dari target resmi Tiongkok sekitar 5,5 % tahun ini.

“Kami percaya pembukaan kembali masih merupakan proses yang berkepanjangan dengan biaya tinggi,” tulis Nomura, juga menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB Tiongkok untuk tahun depan menjadi 4,0% dari 4,3%.

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pun turut memantau dengan cermat demo pembatasan aturan Covid-19 yang berujung bentrok ini.

“Dia memantau ini. Kita semua. Jadi ya, presiden pasti tetap berhati-hati,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby kepada wartawan Selasa (29/11).

Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa Amerika Serikat menganggap kebijakan penguncian COVID-19 di Tiongkok berlebihan.

“Kami pikir akan sangat sulit bagi Republik Rakyat Tiongkok untuk dapat menahan virus ini melalui strategi nol-Covid mereka,” kata seorang juru bicara departemen.

Ketidakpuasan telah muncul selama berbulan-bulan di Tiongkok atas langkah pengendalian virus Corona yang keras, dengan karantina yang panjang, pembatasan lokal, dan pembatasan perjalanan. (RDM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *