Kata YLBHI Soal Kasus Holywings: Tidak Ada Unsur Pidana
Kasus Holywings yang kini menjadikan 6 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Metro Jaya atas dugaan penistaan agama, nyatanya tak semua pihak mendukung proses hukum tersebut.
YLBHI, ICJR, dan PARITAS menjadi pihak yang menolak proses hukum Holywings dilanjutkan. Menurutnya, dalam kasus ini tidak mengandung unsur pidana dan tidak bisa pula dijerat dengan pasal-pasal yang disebutkan, yakni Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1946 tentang berita bohong; Pasal 156 atau pasal 156a KUHP tentang ujaran kebencian dan penistaan agama; dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian berbasis elektronik.
“Kami tekankan bahwa mungkin perbuatan yang dilakukan holywings bersifat sensitif dan kontroversial di masyarakat, namun pendekatan yang digunakan jelas bukan pidana. Pidana harus diletakan sebagai upaya terakhir,” demikian dikutip dari pernyataan resminya, Rabu (29/6).
Adapun alasan mengapa ketiga pasal tersebut tidak relevan, adalah di antaranya, pertama, Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1946 tentang berita bohong. Menurutnya, tindakan Holywings sama sekali tidak menunjukkan unsur kebohongan, yang kemudian menimbulkan keributan secara fisik.
Sementara dikatakan, bahwa tujuan mengunggah poster miras bertuliskan Muhammad dan Miras itu, tak lain untuk promosi produk belaka.
Kemudian yang kedua, Pasal 156 atau pasal 156a KUHP tentang ujaran kebencian dan penistaan agama. Kasus ini pun dinilai tidak bisa dikaitkan dengan pasal penistaan agama. Pasalnya, tujuan tindakan Holywings adalah untuk mempromosikan produknya, dan tidak bermaksud untuk menebarkan kebencian atau rasa permusuhan antar individu.
Menurutnya, tindakan akan disebut penistaan agama apabila penyataan ditujukan untuk melakukan permusuhan.
Ketiga, pasal Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian berbasis elektronik. Holywings juga tidak dapat dijerat pasal ini, karena tindakannya tidak bertujuan untuk menyebarkan informasi yang mengarah pada kebencian atau menyinggung unsur SARA.
“Harus ada unsur rasa kebencian dan permusuhan. Lagi-lagi, tindakan yang dilakukan Holywings bukan menyebarkan kebencian dan permusuhan. Pun dalam penilaian tentang ujaran kebencian, ada syarat begitu rigid yang harus digunakan,” lanjutnya.
Syarat yang dimaksud mengarah pada ujaran kebencian adalah di antaranya 1) konteks dari ujaran tersebut; (2) posisi dan status Pengujar; (3) niat dengan maksud harus mengujarkan kebencian dan permusuhan; (4) isi dan bentuk, termasuk sejauh mana ujaran tersebut dinilai provokatif dan langsung; (5) jangkauan dan dampak; dan (6) kemungkinan potensi bahaya dari ujaran tersebut.
Atas alasan-alasan tersebut, YLBHI, PARITAS, dan ICJR lantas mendesak kepada sejumlah pihak, agar tidak melanjutkan penyidikan kasus ini. Bahkan, kepada kejaksaan pun, mereka meminta agar tidak menerima penuntutan ini sebagai perkara.
Tak hanya itu, DPR dan pemerintah, didesak untuk segera memperbaiki pasal-pasal karet, yang berpotensi menjerat warga sipil yang tidak sesuai dengan kasusnya.
“Kami ingatkan bahwa penggunaan hukum pidana apalagi pasal-pasal yang tersebut menambah deret panjang tidak akuntabel-nya sistem peradilan pidana di Indonesia. Penggunaan hukum pidana harus hati-hati dan harus sebagai upaya terkahir, pun juga pasal yang digunakan harus dikaji berdasarkan dasar pembentukan pasal-pasal tersebut, jangan terus menerus meneruskan penerapan hukum yang tidak berdasar,” tegasnya. (AKM/L44)