Imbas Kenaikan BBM, Pengrajin Tahu Tempe di Bantul Kecilkan Ukuran Produk
Belum usai pandemi Covid-19 menerjang, para pengrajin tahu tempe di berbagai daerah di Indonesia kembali menjerit. Pengrajin kini harus dihadapkan dengan makin naiknya harga kedelai sebagai bahan baku utama yang disebabkan oleh kebijakan kenaikan harga BBM beberapa waktu yang lalu.
Seperti yang dirasakan oleh pelaku usaha di sentra pengrajin tahu dan tempe di Banguntapan, Bantul. Sejumlah upaya dilakukan pengrajin agar tidak terlalu kena dampak buruk kenaikkan kedelai. Namun upaya yang dilakukan tak selamanya berjalan mulus. Sebagian besar pengrajin tahu akhirnya terpaksa harus mengurangi ukuran atau menurunkan kapasitas produksi meski hanya dengan selisih keuntungan yang minim.
Sejumlah pengrajin mengaku kewalahan untuk tetap mempertahankan usahanya di tengah kondisi pasar yang kian lesu. Sementara ongkos produksi makin melonjak. Bahkan, akibat kian melonjaknya harga bahan baku, omset produksi mengalami penurunan hingga 60%.
“Produksinya tetap, tapi dikurangi kilonya, karena delenya naik. Biasanya diisi 10 kg sekarang jadi 9 kg. Harapannya ya pemerintah menurunkan (harga) kedelai biar normal kayak dulu,” ungkap Wasito, selaku pengrajin tahu.
Selain pengrajin tahu, hal serupa juga dirasakan oleh pengrajin tempe di sentra pengrajin tahu tempe, Ngoto. Mereka mengaku kesulitan menaikkan harga dan hanya bisa menyiasatinya dengan mengurangi ukuran tempe, rata-rata dikurangi satu sentimeter, agar tetap berproduksi.
Diketahui, kenaikan harga kedelai impor mulai terlihat sejak awal tahun baru 2022. Semula harga kedelai merangkak naik di harga Rp 9000 per kg dari harga Rp 7000 per kg. Hingga saat ini berada di harga hampir Rp 13.000 per kg.
Para pengrajin berharap, pemerintah segera turun tangan agar harga kedelai dapat kembali stabil seperti tahun-tahun sebelumnya. (JACK/L44)