Lensa JogjaLensa Terkini

Hampir Punah, Menkominfo Terus Promosikan Digitalisasi Aksara Daerah

Aksara daerah saat ini semakin terpinggirkan oleh aksara latin yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perjalanannya, saat ini terdapat tiga aksara daerah yang telah mendapatkan SNI dan berhasil melakukan digitalisasi dengan mendaftarkan ke dalam Unicode (standart Teknis Simbo, Teks dan Sistem Tulisan di dunia). Tiga aksara tersebut yakni aksara Jawa, Sunda, dan Bali.

Dengan kondisi tersebut, perlu upaya lintas pemangku kebijakan dan peneliti aksara daerah dari berbagai negara berdiskusi dalam mengedukasi masyarakat akan pentingnya mengenalkan aksara daerah, agar tidak mengalami kepunahan.

Hal tersebut juga diakui oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubawana X, melalui teks pidatonya yang disampaikan oleh perwakilannya dengan tajuk “Reinventing Lost Heritages in Digital Society”. Kegiatan tersebut  diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Multi Media (STMM) Yogyakarta bersama dengan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI), pada Jum’at (20/5).

“Dari 718 bahasa daerah di Indonesia, baru 7 yang terdaftar di Unicode Kita kalah dari India yang lebih banyak mendaftarkan secara digital aksaranya. Ini disebabkan kurangnya penutur Bahasa daerah dalam budaya kita,” katanya.

Mapping Aksara Daerah Alas, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba, Angkola-Mandaling

Sementara itu, menanggapi isu tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, mengatakan bahwa solusi dari permasalahan ini adalah dengan melakukan digitalisasi pada aksara-aksara lokal agar semakin membumi.

“Salah satu cara agar aksara lokal kita akan tetap bertahan di zaman digital dan arus globalisasi ini adalah dengan mendigitalisasikan aksara lokal yang kita miliki,” ujarnya.

Selain Gubernur DIY dan Kemenkominfo, STMM Yogyakarta dan PANDI turut menghadirkan berbagai pakar, yang telah berpengalaman dalam permasalahan digitalisai aksara lokal untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Para pemateri tersebut berasal dari India, Malaysia, Jerman, dan Indonesia.

Prof. Uli Kozok asal Jerman yang saat ini tinggal di Indonesia untuk penelitian aksara daerah menjelaskan, bahwa aksara daerah di Indonesia memiliki banyak keunikan dan beragam makna. Salah satunya ia menyoroti soal aksara jawa yang memiliki urutan berbeda serta arti.

“Hanacaraka, yang memiliki arti terdapat dua utusan, Datasawala yang artinya mereka berbebeda pendapat, padhajayanya yang artinya mereka berdua sama kuatnya, dan masih banyak aksara daerah lainnya yang memiliki perbedaan serta arti” tuturnya.

Hadir juga Saloni Singhai dari India, yang telah berpengalaman dalam menggunakan Artificial Intelegence (AI) dalam mendigitalisasikan aksara lokal India.

Dalam sesinya, Saloni mengatakan bahwa kecerdasan buatan atau AI dapat digunakan dalam membantu proses digitalisasi aksara lokal.

“Dengan AI, kita bisa mempelajari jenis huruf aksara lokal dan memasukkannya dalam teknologi digital seperti dalam google translate” ujarnya.

Selain itu, Sudono yang menjadi satu-satunya pemateri asal Indonesia juga mengungkapkan, bahwa cara lain dalam melestarikan aksara lokal yang dimiliki di Indonesia adalah dengan membuat masyarakat terbiasa pada aksara tersebut.

“Salah satu cara melestarikan aksara daerah kita dengan membuat masyarakat familiar terhadap aksara lokal tersebut, seperti diajarkan dalam pendidikan formal dan menggunakannya pada penanda nama jalan, maupun penanda nama suatu gedung,” ungkapnya.

Selain itu, Sudono pun berharap penggunaan aksara lokal pada penanda nama jalan diperbesar, dengan ukuran yang sama seperti yang digunakan pada aksara latin.

“Saya berharap penggunaan nama jalan diperbesar supaya masyarakat terbiasa melihatnya, seperti yang digunakan di negara luar , kayak di Korea Selatan, China, ataupun Singapura,” terangnya.

Yang masih menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah bagaimana mempromosikan untuk mengenalkan aksara non latin kepada anak muda.(AB/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *