Headline

Begini Klarifikasi Kejagung Soal Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tak Perlu Dipenjara

Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin  yang mengatakan bahwa koruptor yang korupsi di bawah Rp50 juta tak perlu dipanjara, lantas menjadi perbincangan disetiap linimasa sosial media. Ramainya hal ini dibahas, membuat Kejaksaan Agung merasa perlu memberikan klarifikasi.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Leonard Eben Ezer Simanjutak mengatakan, bahwa pernyataan tersebut disampaikan sebagai jawaban dari beberapa usulan anggota dewan. Sebelumnya, diketahui beberapa pejabat negara mengusulkan agar pelaku korupsi dengan jumlah sekitar 1-10 juta agar tak perlu diproses hukum.

Usulan tersebut muncul selain karena menghindari proses hokum yang panjang, juga menilik pada kesediaan lapas yang terbatas di Indonesia.

“Toh juga bangsa ini memiliki keterbatasan soal ketersediaan Lapas yang sudah over capacity. Luar biasa kalau kita paksa masuk tapi nilainya rendah. Apa ada solusi atau memang kita harus lurus tegak memenjarakan orang meskipun nilainya cukup kecil?” kata Supriansa, Anggota Komisi III DPR RI.

Untuk itulah, kejaksaan agung menimbang dan kemudian mengusulkan bahwa tindak korupsi di bawah Rp50 juta tak perlu dipenjara. Menurutnya, aturan ini bukan soal korupsi uang negara, melainkan pada kesalahan administrasi dan pungutan liar (Pungli) yang kerap terjadi di pemerintahan tingkat desa.

Seperti misalnya, seorang Kepala Desa tanpa pelatihan tentang bagaimana cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, ia harus mengelola dana desa senilai Rp1 Miliar untuk pembangunan desanya. Hal ini tentunya akan melukai keadilan masyarakat, apabila dilakukan penindakan tindak pidana korupsi padahal hanya sifatnya kesalahan administrasi (misalnya kelebihan membayar kepada para tukang atau pembantu tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desanya dan nilainya relatif kecil serta Kepala Desa tersebut sama sekali tidak menikmati uang-uang tersebut),” kata Eben, dikutip dari situs resmi Kejaksaan Agung, Sabtu (29/1).

“Contoh lainnya, seorang bendahara gaji membuat nilai gaji yang lebih besar dari yang seharusnya diterima oleh beberapa pegawai di suatu instansi pemerintah. Ini pun suatu maladministrasi, yang akan melukai keadilan masyarakat, jika kasus-kasus tersebut ditangani dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” lanjutnya.

Maka dari itu, Kejagung kemudian mengajukan tindaklanjut bagi pelaku-pelaku tersebut adalah ‘upaya preventif pendampingan dan pembinaan’. Menurutnya, saat ini masih banyak pemerintahan desa yang belum cukup paham, bagaimana mengelola keuangan anggaran desa.

“Untuk perkara yang model inilah Bapak Jaksa Agung RI wacanakan dalam bentuk himbauan untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lain selain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi,” tambahnya. (AKM/L44)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *